Senin, 25 Oktober 2010

MELACAK AKAR FUNDAMENTALISME ISLAM


MELACAK AKAR FUNDAMENTALISME ISLAM
(Tanggapan atas tulisan  Shofwan Karim dengan judul
Fundamentalisme Barat Bukan Islam)
Oleh:  Ismail Novel
Tulisan Shofwan Karim yang dimuat pada teras utama Padang Ekspres tanggal 15 Juli 2008 dengan judul Fundamentalisme Barat Bukan Islam, menarik untuk dicermati. Pada prinsipnya penulis setuju dengan Shofwan Karim  bahwa penamaan fundamentalisme terhadap kelompok tertentu dalam Islam dari kacamata Barat sebenarnya tidak tepat. Namun, suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa term Fundamentalisme Islam tersebut telah terlanjur populer di dunia, baik Barat maupun Timur. Di samping itu, kita sebetulnya tidak dapat menutup mata bahwa “fundamentalisme” telah menjadi sebuah konsep yang mesti difahami secara baik.  Tulisan ini mencoba memaparkan akar fundamentalisme Islam yang sudah terlanjur populer tersebut.
Term Fundamentalisme sebenarnya tidak begitu familiar dengan khasanah Islam, baik klasik maupun kontemporer. Term ini merupakan khasanah Kristen yang pertama kali digunakan oleh kalangan Kristen di Amerika sebagai nama bagi aliran pemikiran keagamaan Kristen yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) (Azra: 1999). Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme di Amerika yang sekuler, di mana terdapat usaha di kalangan kristen sendiri untuk menyesuaikan doktrin kristen dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan, evolusionisme, dan liberalisme. (Azra:1997)
Karena term fundamentalisme ini berasal dari Tradisi Kristiani, sebagian pemikir Islam dewasa ini, termasuk Shofwan Karim, tidak setuju bila dilakukan penggabungan “fundamentalisme” dengan Islam atau fundamentalis Islam. Apalagi terminologi fundamentalisme Islam lebih merupakan upaya Barat untuk menyeret Islam masuk ke dalam kubangan sejarah kekerasan.
Term Fundamentalisme Kristen ini kemudian berkembang menjadi dua pengertian yang keduanya berbeda secara diametral. Pertama, fundamentalisme diartikan sebagai upaya kembali kepada ajaran-ajaran dasar agama. Pengertian ini muncul dari makna kata fundamental yang memiliki arti dasar atau sesuatu yang mendasar. Kedua, fundamentalisme adalah suatu bentuk “ideologi protes”, Fundamentalisme adalah ideologi kaum oposisi. Ia muncul sebagai senjata ideologis untuk melawan kelas penguasa yang dianggap lalim dan menyimpang dari ajaran agama yang benar.
Menurut Martin E Marty (1996), sebuah gerakan atau sikap dapat dikategorikan sebagai fundamentalisme apabila memenuhi empat kriteria, pertama fundamentalisme bersifat opposisionalisme (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu melawan terhadap hal-hal (baik ide modernisme maupun sekularisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama. Kedua, fundamentalisme bersifat penolakan terhadap hermeneotika yaitu penolakan terhadap sikap kritis atas teks. Ketiga, fundamentalisme bersifat menolak paham pluralisme  dan relatifisme yang keduanya dianggap lahir dari pemahaman agama yang keliru. Keempat, fundamentalisme bersifat menolak paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis yang telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin teks kitab suci--Term fundamentalisme yang berasal dari khasanah kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam, terutama oleh orang-orang yang melihat adanya fenomena yang sama dengan fenomena yang terjadi dalam Islam. Sehingga, bila pengertian yang pertama dibawakan ke Islam, fundamentalisme berarti faham atau gerakan yang kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang dasar yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Sementara, untuk pengertian yang kedua, yakni fundamentalisme sebagai ideologi, ditandai dengan adanya kelompok Khawarij  yang menentang kebijakan Khalifah Ali ibn Abi Thalib.
Sementara itu, sebutan fundamentalis Islam baru dikenal dan dipopulerkan oleh Barat mulai berbarengan dengan terjadinya revolusi Islam Iran pada tahun 1979, yang memunculkan kekuatan muslim syi’ah radikal yang siap mati melawan “The Great Satan,” Amerika Serikat.
Dan seperti yang penulis kemukakan di depan, fundamentalisme Islam kemudian “terlanjur” menjadi sebuah konsep sosial (untuk tidak menyebut sebagai sebuah teori sosial) keagamaan yang tidak dapat begitu saja kita hindarkan.
Azyumardi Azra (1996) misalnya, dalam karyanya Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, membagi fundamentalis Islam menjadi dua tipologi pra-modern dan kontemporer. Fundamentalisme pra-modern muncul disebabkan situasi tertentu di kalangan umat Islam sendiri. Karena itu ia lebih berorientasi ke dalam diri Muslim sendiri. Pada pihak lain, fundamentalis kontemporer bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi Barat, baik sebagai akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim- tegasnya kelompok modernis, sekularis, dan westernis atau rezim pemerintahan muslim yang menurut kaum fondamnetalis merupakan perpanjangan mulut dan tangan Barat.
Menurut Azra gerakan fundamentalis Islam pra modern pertama yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalis Islam  muncul di semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhammad ibn Abd Wahab (1703-1792). Abd. Wahab melancarkan jihad terhadap kaum muslim yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam murni yang menurutnya banyak mempraktekkan bid’ah, khurafat. Tahayul, dan semacamnya.
Fundamentalisme Islam, baik yang secara langsung atau tidak dipengaruhi oleh Gerakan Wahabi, segera muncul dari berbagai penjuru dunia Islam, seperti di Negeria Utara dengan Syech Usman dan Fodio (1754-1817) di Afrika Barat dengan Haji Umar Tal (1794-1865) di Minangkabau dengan gerakan Paderinya (perempatan terakhir abad 18 dengan Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya. Di India dengan Sayyid Ahmad Berelvi (1786-1831).
Dalam gerakan-gerakan Fundamentalis selanjutnya warna anti Barat muncul secara signifikan walau tema kembali kepada Islam murni juga tidak ditinggalkan seperti gerakan Faraidh di Begal yang dikembangkan oleh Syari’at Allah (1781-1840) yag selain menjalankan syari’at secara ketat, juga melakukan jihat terhadap Ingris dan Hindu.
Berbeda dengan Fundamentalisme pra-modern, fundamentalisme kontemporer merupakan respon terhadap pembaharuan Islam yang “salah kaprah”. Islam yang harusnya dikedepankan dengan pembaruan yang dilakukan justru menjadi marjinal. Hal ini terjadi karena evolusi pemikiran sejak dari Salafisme, modernisme, westernisme, dan akhirnya sekularisme. Semuanya ini mengandung reaksi balik oleh sebagian umat Islam dengan kembali kepada Islam secara ketat dan ekslusif. Antara lain gerakan fundamentalisme kontemporer tersebut adalah gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada tahun 1928 oleh seorang mubaligh Hasan Al-Banna. Ia menganjurkan Islam sebagai ideologi yang total dan komprehensif.
Selain al-Banna, tokoh fundamentalisme Islam kontemporer lain adalah Muhammad Quthb dan al-Maududi,. Kedua tokoh ini memiliki doktrin sentral  tentang jahiliyah modern, yakni modernitas sebagai barbaratis baru yang mesti diberantas. Menurut Quthb untuk memberantas jahiliyah modern ini masyarakat muslim mesti melakukan taghyir al-aqliyyah, yakni perubahan fundamental dan radikal, bermula dari dasar-dasar kepercayaan, moral, dan etikanya.
Dengan paparan di atas, hemat penulis, saat ini tidak begitu penting untuk memperdebatkan ada dan tidaknya fundamentalisme Islam. Karena “fundamentalisme” sudah terlanjur menjadi sebuah konsep sosial keagamaan. Oleh sebab itu, yang baik barangkali adalah menjadikan fundamentalisme tersebut sebagai sebuah konsep untuk memahami perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan yang ada di dunia dewasa ini. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar