Selasa, 26 Oktober 2010

WANITA DAN TANAH DI MINANGKABAU


A.Pendahuluan
Minangkabau adalah satu dari banyak daerah lingkungan hukum adat yang ada di Indonesia.[1] Salah satu kekhasan hukum adat Minangkabau adalah sistem kekerabatan yang dianutnya, yakni matriarkhat atau menganut garis keturunan berdasarkan ibu.[2] Dalam sistem kekerabatan matriarkhat ini perempuan menjadi figur sentral dalam kaum. Ia memiliki hak untuk memanfaatkan atau memakai tanah yang dimiliki oleh kaum,[3] sementara laki-laki dalam kaum (mamak) hanya memiliki hak untuk memelihara, mengembangkan, dan menentukan peruntukan bagi kemenakannya yang perempuan.
Dalam pada itu, Masyarakat Minangkabau yang matriarkhat ini sangat bergantung kepada tanah. Bagi mereka tanah tidak hanya sekedar sebagai tempat tinggal dan sumber pencarian, melainkan juga sebagai alat untuk mengenal asal usul serta status mereka di tengah-tengah masyarakat.[4]
System kekerabatan matriarkhat yang menempatkan perempuan pada posisi sentral dengan kehidupan yang bertumpu kepada tanah, cukup menarik untuk didiskusikan. Tulisan ini mencoba memfokuskan perhatian kepada perempuan di Minangkabau, haknya atas tanah, serta system pewarisan yang berlaku atas tanah yang ada di Minangkabau.
B. Perempuan di Minangkabau
          Perempuan sering disebut dengan panggilan 'wanita'. Panggilan ini lazim dipakai di negeri kita. Seperti darma wanita, karya wanita, wanita karir, korp wanita, wanita Islam dsb. Kata-kata "wanita" (bhs.Sans), berarti lawan dari jenis laki-laki, juga diartikan perempuan (lihat :KUBI).  Ada lagi yang memanggil wanita dengan sebutan 'perempuan.' (bhs.kawi,KUBI). Kata "empu" berasal dari Jawa kuno, berarti pemimpin (raja), orang pilihan,ahli, yang pandai, pintar dengan segala sifat keutamaan yang lain.[5] Dalam kebudayaan Minangkabau sejak lama yang kemudian berkembang menjadi "adat bersendi syara', syara' bersendi kitabullah" menempatkan wanita sebagai 'orang rumah' dan 'pemimpin' masyarakatnya dengan sebutan "bundo kandung", menyiratkan kokohnya kedudukan perempuan Minangkabau pada posisi sentral.[6]
 

C. Pemilikan Tanah Menurut Adat Minangkabau
 Kekayaan, terutama dalam bentuk tanah, menurut tradisi orang Minangkabau dapat dikategorikan ke dalam beberapa bentuk berupa harta pusaka, tanah rajo, dan atau tanah ulayat. Harta pusaka dimiliki oleh setiap kaum dalam suatu suku, dan telah diwariskan melalui beberapa generasi. Harta ini tidak boleh diperjual-belikan karena menyangkut sosial genealogis, kecuali dipegang-gadaikan yang lebih cendrung bersifat sosial daripada ekonomi. Transaksi ini baru dibolehkan setelah melalui rapat kaum yang dipimpin oleh penghulu dengan didasarkan atas beberapa pertimbangan, seperti rumah gadang katirian, gadiah gadang tak balaki dan lain-lain.[7]
Selain harta pusaka tadi, pada setiap nagari di Minangkabau terdapat pula tanah ulayat (tanah nagari) yang dikuasai oleh para penghulu.[8] Tanah ini adalah berupa rimba belantara dan hutan belukar, yang tidak dimanfaatkan secara langsung oleh penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara terperinci, sistem kepemilikan harta di Minangkabau dibagi atas dua kategori yakni harta pusaka (pusako) dan harta pencaharian.

1. Harta Pusaka Tinggi (Harto Pusako Tinggi)
Harta pusaka tinggi (harto pusako tinggi) adalah hak milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki tertua dalam kaum). Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kepada kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan “pusako basalin”.[9] Menurut Anwar (1997)[10], bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat sebagai berikut :
Tajua indak dimakan bali (Terjual tidak bisa dibeli) Tasando indak dimakan gadai (Anggunan tidak dapat digadai). Hal tersebut berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dijual. Sebagai pusaka tinggi, dalam hal warisan memerlukan persetujuan penghulu kaum untuk mengubah statusnya, umpamanya untuk mengadaikannya. Persetujuan penghulu dan seluruh ahli waris sangat diperlukan sebelum warisan tersebut digadaikan. Petitih dalam masyarakat Minangkabau mengatakan tentang harta warisan itu adalah warih dijawek pusako ditolong (warisan dijawat pusaka ditolong). Yang artinya sebagai warisan, ia diturunkan kepada yang berhak dan yang berhak menjawatnya (menyambutnya), tetapi sebagai pusaka (yakni sewagai warisan yang telah terima), maka ditolong atau pelihara, karena ia merupakan suatu lembaga milik bersama untuk turun temurun.
Dalam adat Minangkabau tidak mengenal istilah jual untuk harta pusaka tinggi yang boleh hanya digadaikan. Untuk tanah pusaka tinggi misalnya, gadai hanya dapat dilakukan atas kesepakatan anggota kaum sebagai pemilik tanah pusaka tinggi yang bersangkutan. Tanah pusaka tinggi hanya dapat digadaikan karena alasan-alasan berikut : [11]
a. Rumah gadang katirisan (rumah gadang yang bocor).
Rumah gadang sebagai milik bersama, ternyata sudah rusak seperti bocor atau sudah lapuk, maka boleh mengadaikan untuk keperluan perbaikannya.
b. Gadih gadang tak balaki (gadis dewasa belum bersuami)
Bila kemenakan perempuan bersuami karena alasan biaya yakni tidak ada untuk mengisi adat dan untuk pesta perkawinan maka boleh mengadaikan harta pusaka tersebut.
c. Mayat tabujue di tangah rumah (mayat terbujur di tengah rumah)
Tanah itu boleh digadaikan untuk menutupi biaya kematian, penguburan, kenduri dan sebagainya.
d. Membangkitkan batang tarandam (membangkitkan batang tarandam)
Pada Kaummnya bila gelar pusako (pusaka) sudah lama terbenam saja karena biaya untuk mengisi adat tidak cukup seperti biaya untuk upacara batagak penghulu maka boleh digadaikan.

Lain dari yang empat tersebut tidak dibenarkan oleh adat. Karena ia milik komunal, maka pembenaran untuk itu seperti yang telah dijelaskan di atas harus dengan kesepakatan semua anggota kaum. Ini artinya penggunaan harta pusaka tinggi pada dasarnya adalah untuk kepentingan bersama dalam satu kaum. Kepemilikan harta secara komunal ini terkait dengan agraris yang menyandarkan penghidupannya mereka kepada hasil pertanian dengan pola kehidupan masyarakat yang sederhana.[12]
Dalam hal ini mengenai warisan harta pusaka sudah terang bahwa ahli warisnya ialah anggota-anggota keluara dilihat dari garis ibu. Jika seorang ibu meninggal maka ahli warisnya adalah pertama-tama anak-anaknya kemudian cucunya serta akhirnya keturunan dari mereka ini. Mereka ini disebut warih nan dakek (ahli waris yang dekat).
Apabila seorang laki-laki yang meninggal maka waris nan dakeknya adalah dunsanak kanduang yaitu saudara laki-laki atau perempuan dari laki-laki tersebut yang seibu dan sebapa. Dalam hal ini anak-anak dari saudara laki-laki dari seibu laki-laki tersebut bukanlah ahli warisnya.
Tetapi jika warih nan dakek sudah tidak ada lagi, jadi tidak ada lagi keturunan langsung dari si wanita yang meninggal maka sebagai ahli waris dicari warih nan jauh. Yang dimaksud warih nan jauh adalah segala anggota keluarga yang sedarah dilihat dari garis ibu akan tetapi yang tidak langsung keturunan siwanita yang meninggal.
Pertama-tama yang termasuk dalam hal ini yaitu ibu si wanita itu sendiri (jika ia masih hidup) atau jika ini tidak ada saudara laki-laki atau perempuan dari ibu simeninggal sendiri. Apabila ini masih tidak ada maka juga sebagai warih nan jauh ialah anggota-anggota dari lingkungan keluarga sedarah menurut garis ibu yang berasal dari moyang mereka. Selain dari itu jurai-jurai yang berasal dari sebuah paruik dapat pula menjadi waris. Selanjutnya apabila semua orang-orang yang disebutkan di atas tidak ada, maka yang mendapat orang orang-orang yang sesuku (sepesukuan) serta apabila belahan di nagari lain tadi tidak kembali kenagari asal, maka pusaka tersebut jatuh ke tangan nagari.

2. Harta Pusaka Rendah (Harto Pusako Randah)
Harta pusaka rendah (harto pusako randah) adalah warisan yang ditinggalkan oleh seseorang pada generasi pertama, karena ahli warisnya masih sedikit itulah statusnya masih dipandang rendah. Mereka dapat melakukan kesepakatan bersama untuk memanfaatkannya, baik dijual atau dibagi-bagi antara mereka. Pusaka rendah berarti harta pencaharian suami istri dalam rumah tangga. Atau dengan kata lain merupakan segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu (suami istri) sewaktu masih hidup dalam ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak dan tungganai dari hasil pencaharian mamak dan tungganai itu sendiri.
Kebanyakan semasa mereka hidup harta pencaharian itu telah dihibahkan kepada anak-anaknya yang apabila si orang tua meninggal, anak-anaknya tersebutlah yang menjadi warisnya. Tetapi apabila semua ahli waris tetap menjaga keutuhannya tanpa dijual atau dibagi-bagi, lalu pada waktunya diwariskan kepada generasi berikut secara terus menerus sehingga sulit menelusurinya, maka ia beralih menjadi harta pusaka tinggi. Jadi pada dasarnya harta pusaka tinggi juga berasal dari harta pusaka rendah yang dimanfaatkan secara turun temurun. Sekali ia diwariskan secara adat, maka ia menjadi harta pusaka tinggi.

D. Sistem pewarisan yang berlaku atas tanah yang ada di  
    Minangkabau
Hukum waris yang berlaku di Minangkabau adalah hukum waris adat. Harta pusaka diwarisi secara turun temurun menurut garis ibu. Ketika Islam berkembang di Minangkabau, tepatnya pada masa pembaruan hukum Islam, praktek pewarisan yang semacam ini dikritik oleh tokoh-tokoh ulama reformis. Tokoh reformis Islam yang paling keras dalam hal ini adalah Ahmad Khatib. Ahmad Khatib mengatakan bahwa harta warisan di Minangkabau adalah haram. Hal ini menimbulkan konflik antara yang mendukung Ahmad Khatib dan yang menolak pendapat itu. Menurut A.A.Navis dalam bukunya yang berjudul Alam Terkembang Jadi Guru (1984) menjelaskan hal tersebut diperparah lagi ketika pada tahun 1904, Haji Yahya, murid Ahmad Khatib yang mendukung pendapat Ahmad Khatib kembali ke Minangkabau telah meresahkan masyarakat dan kemudian Haji Yahya ditangkap oleh Belanda. Haji Yahya di tangkap Belanda , karena Belanda merasa takut akan dapat membahayakan kedudukannya di Minangkabau.
Kemudian Ulama sesudah Ahmad Khatib yaitu Abdulkarim Amarullah yang lebih moderat terhadap warisan di Minangkabau. Abdulkarim Amarullah adalah murid Ahmad Khatib, yang dikenal juga dengan nama H. Rasul. Menurut Hamka dalam buku yang diedit oleh Muctar Naim yang berjudul Mengali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau (1968) mengatakan bahwa Haji Rasul tersebut melihat harta pusaka terpisah dari harta pencaharian. Haji Rasul berpendapat bahwa harta pusaka sama keadaannya dengan wakaf yang pernah diberlakukan oleh Umar bin Khatab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tassarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Haji Rasul juga berpendapat bahwa harta pencaharian adalah hak anak, maka diberlakukan hukum faraid.

Kemudian juga menurut Hamka didalam bukunya yang berjudul Ayahku (1967) menjelaskan sebagai seorang yang moderat, Haji Rasul juga berpendapat bahwa harta pusaka adalah harta pusaka yang murni yang tidak tercampur harta pencaharian. Harta itu disamakan wakaf. Pendapat ini di dukung oleh ulama Perti dan Sulaiman ar Rusuli. Pendapat ini merupakan pencegah konflik antara kaum pembaharu Islam dengan kaum yang mempertahankan adapt, tentang tanah warisan di Minangkabau.


DAFTAR PUSTAKA
Amir, M.S, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. 2003.
Anwar, Chaidir, Hukum Adat Indonesia : Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Jakarta : Rhineka Cipta. 1997.
Hamka, Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya. Padang : Seminar Hukum Adat Minangkabau. 1968.
Naim, Muchtar (ed), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang : Center For Minangkabau Studies. 1968.
Navis, Alam Takambang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : PT. Pustaka Grafitis. 1984.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta : Gunung Agung. 1984.
Yaswirman, Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum Kekeluargaan Islam di Indonesia. Studi Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Matilineal Minangkabau. Disertasi S3. Jakarta : Program Pascasarjan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1997.



[1] Gusril Basir, mengutip, Van Volen Hoven mengatakan Indonesia terdiri dari 19 daerah lingkungan hukum adat. Dari 19 daerah hukum adat menurut ahli antropologi dapat pula dipecah menjadi 250 bagian.
[2] Sistem matriarkat ini memiliki fungsi : a. Menentukan garis keturunan sedarah berdasarkan per-ibuan ( se – mande), b. Menentukan tata cara pembagian pewarisan termasuk pengelolaan harta pusaka. c. Sentralisasi dalam kehidupan keluarga eksogami, sebagaimana yang dituangkan dalam pepatah : limpapeh rumah nan gadang.
[3] Di Minangkabau hak atas tanah terbagi tiga. Hak menguasai berada pada mamak, hak memiliki ada pada kaum, dan hak pakai ada pada perempuan. Wawancara dengan Gusril Basir SH, M. Hum, dosen Hukum Adat STAIN Bukittinggi
[4] Setiap kaum, suku dan nagari di Minangkabau memiliki tanah yang merupakan milik komunal dalam sukubukan milik perorangan. Tanah merupakan syarat yang pokok bagi orang Minangkabau. Dalam pepatah adat dikatakan, bahwa orang yang tidak punya tanah dibumi Minangkabau orang itu bukanlah asli daerah tersebut. Undri, Kepemilikan Tanah di Sumatera Tahun 50-an (Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman)
[5] Masoed Abidin, Hak Perempuan Menurut Pandangan Islam (Terhadap  Tanah  Ulayat  Di Minangkabau), http://www.e-ulama.org  
[6] Masoed Abidin, Hak Perempuan…,http://www.e-ulama.org
[7] Untuk jelasnya lihat Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Buku Pegangan Penghulu di Minangkabau, Bandung : Rosda, 1978. hal. 42-44.
[8] A.A.Navis, Alam Terkembang Jadi Guru :Adat dan Kebudayan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers. 1986. hal.151-152.
[9] Amir, M.S, 2003, Adat Minangkabau : Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya.
[10] Anwar, Chaidir, 1997. Hukum Adat Indonesia : Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Jakarta : Rineka Cipta.
[11] Naim, Muchtar (ed), 1968), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, Padang : Center For Minangkabau Studies.

[12] Yaswirman, 1997. Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum Kekeluargaan Islam di INdonesia. Studi Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Mayrilineal Minangkabau. Disertasi S3. Jakarta : Program Pascasarjana Institut Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1 komentar:

  1. The Casino Tycoon's Top Casino!
    The Casino Tycoon's Top Casino! · Slots; Table 토토 하는 법 Games · Live Dealer 이 스포츠 Tables · Sports Betting 텐벳 · Poker 호반 그래프 · Let It Ride! 포커룰 · Sportsbook. Casino

    BalasHapus